Kamis, 24 November 2011

Pemalsuan Hadits dan upaya untuk menyelamatkannya


Pemalsuan Hadits dan Upaya Ulama untuk menyelamatkannya
Pemalsuan hadits memang adalah hal yang diberantas ejak dulu. saya sendiri sebagai Selamet Hariadi yang belum banyak Hadits yang dihafal juga perlu banyak belajar lagi. Sejak terbunuhnya khalifah Usman bin Affan dan tampilnya Ali bin Abu Thalib serta Muawiyah yang masing-masing ingin memegang jabatan khalifah, maka umat Islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu syiah. khawarij, dan jumhur. Masing-masing kelompok mengaku berada dalam pihak yang benar dan menuduh pihak lainnya salah. Untuk membela pendirian masing-masing, maka mereka membuat hadis-hadis palsu. Mulai saat itulah timbulnya riwayat-riwayat hadis palsu. Orang-orang yang mula-mula membuat hadis palsu adalah dari golongan Syiah kemudian golongan khawarij dan jumhur, Tempat mula berkembangnya hadis palsu adalah daerah Irak tempat kamu syiah berpusat pada waktu itu.
Pada abad kedua, pemalsuan hadis bertambah luas dengan munculnya propaganda-propaganda politik untuk menumbangkan rezim Bani Umayyah. Sebagai imbangan, muncul pula dari pihak Muawiyyah ahli-ahli pemalsu hadis untuk membendung arus propaganda yang dilakukan oleh golongan oposisi. Selain itu, muncul juga golongan Zindiq, tukang kisah yang berupaya untuk menarik minat masyarakat agar mendengarkannya dengan membuat kisah-kisah palsu.
Menurut Imam Malik ada empat jenis orang yang hadisnya tidak boleh diambil darinya:
  1. Orang yang kurang akal.
  2. Orang yang mengikuti hawa nafsunya yang mengajak masyarakat untuk mengikuti hawa nafsunya.
  3. Orang yang berdusta dalam pembicaraannya walaupun dia tidak berdusta kepada Rasul.
  4. Orang yang tampaknya saleh dan beribadah apabila orang itu tidak mengetahui nilai-nilai hadis yang diriwayatkannya.
Untuk itu, kemudian sebagian ulama mempelajari dan meneliti keadaan perawi-perawi hadis yang dalam masa itu banyak terdapat perawi-perawi hadis yang lemah Diantara perawi-perawi tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui mana yang benar-benar dapat diterima periwayatannya dan mana yang tidak dapat diterima.
Selain itu juga diusahakan pemberantasan terhadap hadis-hadis palsu oleh para ulama, yaitu dengan cara menunjukan nama-nama dari oknum-oknum/ golongan-golongan yang memalsukan hais berikut hadis-hadis yang dibuatnya supaya umat islam tidak terpengaruh dan tersesat oleh perbuatan mereka. Untuk itu, para ulama menyusun kitab-kitab yang secara khusus menerangkan hadits-hadits palsu tersebut, yaitu antara lain :
  1. Kitab oleh Muhammad bin Thahir Ak-Maqdizi(w. tahun 507 H)
  2. Kitab oleh Al-Hasan bin Ibrahim Al-Hamdani
  3. Kitab oleh Ibnul Jauzi (w. tahun 597 H)
Di samping itu para ulama hadis membuat kaidah-kaidah atau patokan-patokan serta menetapkan ciri-ciri kongkret yang dapat menunjukkan bahwa suatu hadis itu palsu. Ciri-ciri yang menunjukkan bahwa hadits itu palsu antara lain:
  1. Susunan hadits itu baik lafaz maupun maknanya janggal, sehingga tidak pantas rasanya disabdakan oleh Nabi SAW., seperti hadis:
Artinya:
“Janganlah engkau memaki ayam jantan, karena dia teman karibku. ”
  1. Isi maksud hadits tersebut bertentangan dengan akal, seperti hadis:
Artinya:
“Buah terong itu menyembuhkan. Segala macam penyakit. ”
  1. Isi/maksud itu bertentangan dengan nas Al-Quran dan atau hadits mutawatir, seperti hadis:
Artinya:
“Anak zina itu tidak akan masuk surga. ”
  1. Hadis tersebut bertentangan dengan firman Allah SWT. :
Artinya:
“Orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. ” (QS. Fatir: 18)
Sementara menurut sumber yang lain adapun cara mengetahui apakah hadist tersebut palsu atau tidak dijelaskan ciri-cirinya sebagai berikut:
Pertama :    Pengakuan.
Kedua :    Yang sejajar dengan pengakuan berupa karinah-karinah para perawi hadist yang diriwayatkan. Maksudnya disini adalah hadist yang diriwayatkan oleh para perawi yang memiliki kebiasaan buruk dan hal itu (kebiasaan buruk tersebut) diketahui oleh para karinah-karinah perawi hadis yang bersangkutan.
Ketiga :    Bertentangan dengan akal dan mukjizat-mukjizat kenabian yang sudah dikenal umum
Keempat :    Hadits yang diriwayatkan bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an dan Sunnah yang mashur serta tidak mungkinnya keduanya dikompromikan.
Kelima :    Kelemahan lafal dan makna
Keenam :    Pertentangan makna
Ketujuh :    Menyalahi keterangan al-qur’an dan as-sunnah yang sahih.
Kedelapan :    Menyalahi kenyataan sejarah.
Kesembilan :    Mengandung beberapa kelemahan.
Sampai saat ini ternyata masih banyak hadits-hadits palsu itu bertebaran dalam beberapa literatur kaum Muslimin. Di samping itu tidak sedikit pula kesalahan-kesalahan yang berkembang dikalangan masyarakat Islam, berupa anggapan terhadap pepatah-pepatah dalam bahasa Arab yang dinilai mereka sebagai hadits. Alhamdulillah, berkat jasa-jasa dari ulama-ulama yang saleh, hadits-hadits itu kemudian sempat dibukukan dalam berbagai macam buku, serta diadakan seleksi-seleksi ketat oleh mereka sampai melahirkan satu disiplin ilmu tersendiri yang disebut Ilmu Musthalah Hadits. Walaupun usaha mereka belum dapat membendung seluruh usaha-usaha penyebaran hadits-hadits palsu dan lemah, namun mereka telah melahirkan norma-norma dan pedoman-pedoman khusus untuk mengadakan seleksi sebaik-baiknya yang dituangkan dalam ilmu musthalah hadits tersebut. Sehingga dengan pedoman itu ummat Islam sekarang pun dapat mengadakan seleksi-seleksi seperlunya. Nama-nama Ishak bin Rahawih, Imam Bukhari, Imam Muslim, ar-Rama at-Turmudzi, al-Madini, Ibnu Shalah dan banyak lagi ulama-ulama saleh lainnya adalah rentetan nama-nama yang besar jasanya dalam usaha penyelamatan hadits-hadits dari kepalsuan-kepalsuan seh
A.     Pengertian Hadits Maudhu




Secara etimologi, kata Maudhu’’ adalah isim ma’ful dari kata wa-dha-‘a, ya-dha-‘u, wadh-‘an, yang mempunyai arti al-isqath (meletakan atau menyimpan); al-iftira’ wa al-ikhtilaq (mengada ada atau membuat-buat), dan al-tarku (ditinggal).
Sedangkan secara terminologis, Ibnu Al-Shalah, yang kemudian diikuti oleh iman Al-Nawawi mendefisinikan Hadist Maudhu’ sebegai “hadits yang diciptakan dan dibuat-buat”.
Sedangkan, Muhammad Al-Jajja Al-Khatib mendefinisikan Hadist Maudhu’ dengan: “hadits yang dinisbahkan (disandarkan) kepada Rasulullah SAW, yang sifatnya dibuat-buat dan diada-adakan, karena Rasulullah SAW sendiri tidak mengatakannya, memperbuat, maupun menetapkannya. “
Sementara itu, Mahmud Al-Tahan, mendefinisikan sebagai: “kebohongan yang diciptakan dan diperbuat serta disandarkan kepada Rasulullah SAW. “
Definisi yang hampir sama dikemukakan oleh Subhi Al-Shalih, yang menyatakan bahwa Hadist Maudhu’’adalah “suatu berita yang diciptakan oleh para pembohong dan kemudian disandarkan kepada Rasulullah SAW, yang sifatnya mengada-adakan atas nama Beliau.”
Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan Hadist Maudhu’ adalah hadist yang sengaja diciptakan dan dibuat-buat oleh seseorang, kemudian mengatasnamakannya dari Rasulullah SAW.

B.     Sejarah dan Perkembangan Hadits Maudhu

Dikalangan para ulama terjadi kontraversi tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan hadits, apakah hal telah terjadi sejak masa Nabi Muhammad SAW masih hidup, atau sesudah masa beliau. Menanggapi masalah ini sedikitnya ada tiga pendapat yang berkembang, diantaranya:
Pertama, menurut sebagian para ulama bahwa sebagian ulam pemalsuan hadits telah terjadi sejak masa Rasulullah masih hidup. Ulama yang berpendapat demikian diantaranya Ahmad Amin (w. 1373H/1954 M). alasan yang dijadikan argumentasi adalah sabda Rasulullah:


Artinya: “Bagi siapa yang secara sengaja berdusta kepadaku, maka hendaknya dia mengambil tempat di Neraka.”
Menurut Ahmad Amin, hadits ini memberi gambaran pemalsuan hadits telah terjadi padan zaman Nabi Muhammad SAW, sayangnya dalam hal ini tidak diberikan bukti-bukti secara konkrit tentang hadits yang dipalsukan pada masa Nabi Muhammad SAW itu, oleh karenanya, sekalipun hadits yang dijadikan sebagai hujjah adalah hadits Mutawattir, namun hal itu tidaklah kuat untuk dijadikan dalil bahwa zaman Nabi Muhammad SAW telah terjadi pemalsuan hadits.
Kedua, bahwa pemalsuan yang sifatnya semata-mata melakukan kebohongan terhadap Nabi Muhammad SAW, yang berhubunhan dengan masalah keduniawian telah terjadi pada zaman Nabi. Hal ini sebagaiman dilakukan oleh orang-orang munafik. Sedangkan pemalsuan hadits yang berhubungan dengan masalah agama, belum pernah terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW. Pendapat ini diantaranya dikemukakan oleh Shala Al- Din Al-Adhabi. Alasan yang dia kemukakan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Thahawi (w. 321/933 M) dan al-Thabrani (w. 360 H/ 971 M). dalam kedua hadits tersebut dinyatakan bahwa pada masa Nabi Muhammad SAW ada seorang yang telah membuat berita bohong dengan mengatas namakan Nabi. Dalam hadits ini, baik yang diriwayatkan oleh Thahawi atau Al-Thabrani ternyata sanadnya lemah (dah’if). Oleh karena itu, kedua riwayat tersebut tidak dapat dijadikan dalil.
Ketiga, bahwa penulisan hadits baru baru terjadi untuk pertama kalinya setelah 40 H, yaitu pada masa Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib. Pada masa ini terjadi konflik antara kelompok Ali disautu pihak dan Muawiyah dan pendukungnya dipihak lain, serta kelompok ketiga, yaitu kelompok Khawarij. Masing-masing kelompok berusaha untuk mencari legitimasi dari Al-qur’an dan hdits dan ketika mereka tidak mendapatkannya, maka merekapun mulai membuat hadits-hadits palsu. Pendapat ini dipengangi oleh mayoritas ulama hadits.
Dari ketiga pendapat di atas, nampaknya yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat yang disebutkan terakhir, yaitu pemalsuan hadits baru muncul sepeninggal Nabi Muhammad SAW. Hal ini disamping begitu kerasnya peringatan yang diberikan Nabi Muhammad SAW terhadap mereka yang mencoba-coba untuk melakukan dusta atas nama beliau yang tercermin pada sikap hati-hati yang ditampilkan pada sahabat, seperti Abu Bakar dan Umar serta yang lainnya juga berdasarkan bukti bahwa pemalsuan hadits baru muncul dan berkembang ketika Ali menjabat sebagai khalifah, dimana masa ini pertentangan politik mulai muncul.

C.     Latar Belakang

Berdasarkan sejarah yang ada, pemalsuan hadits tidak saja dilakukan oleh orang-orang Islam, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non Islam. Menurut Ajjaj al-Khatib orang Islam yang mula-mula dan paling banyak memalsukan hadits adalah kelompok Syi’ah dan yang paling banyak diantara mereka adalah dari kelompok Syi’ah Rafidha. Sementara kelompok Khawarij, meskipun ada frekuensinya sangat sedikit sekali. Hal ini disebabkan karena menurut keyakinan mereka bahwa melakukan dosa besar adalah kafir, pemalsuan hadits seperti ini dipengaruhi oleh faktor-faktor, diantaranya adalah:
1.Adanya persoalan politik dalam soal khalifah
2.Adanya rasa benci terhadap Islam, baik Islam sebagai agama maupun sebagai suatu kedaulatan/ pemerintahan oleh kaum zindiq.
3.Sikap fanatik buta terhadap bangsa, suku, negeri, bahasa dan pimpinan (Ashbiyah).
4.Untuk menarik perhatian orang (minat para pendengar) dengan kisah-kisah pengajaran dan hikayat yang menarik.
5.Perselisihan paham dalam masalah fiqih dan masalah kalam.
6.Pendapat yang membolehkan orang yang membuat hadits untuk kebaikan.
7.Mendekatkan diri kepada pembesar-pembesar negeri dengan tujuan mencari kedudukan.
8.Adanya kesengajaan dari pihak lain untuk merusak ajaran Islam. Misalnya dari kaum Orientalis Barat yang sengaja mempelajari Islam untuk tujuan menghancurkan Islam.
9.Untuk mencari penghidupan dunia.

Golongan-Golongan yang Memalsukan Hadits
Dengan memperhatikan uraian di atas nyatalah bahwa golongan-golongan yang memebuat Hadits Maudhu’ itu ada sembilan golongan:
1.Zanadiqah (orang-orang Zindiq)
2.Penganut-penganut bid’ah
3.Orang-orang yang dipengaruhi oleh panatik kepartaian
4.Orang-orang yang ta’ashshub kepada kebangsaan, kesukuan, kenegerian, kebahasaan, dan pimpinan.
5.Orang-orang yang dipengaruhi ta’ashshubmazhab.
6.Para qushshah (ahli riwayat dongeng)
7.Para ahli tasawuf zuhud yang keliru
8.Orang-orang yang mencari penghargaan pembesar negeri.
9.Orang-orang yang ingin memegahkan dirinya dengan dapat meriwayatkan hadits-hadits yang tidak diperoleh orang lain.

Hukum Meriwayatkan Hadits Maudhu’’
1.Secara mutlak, ulama sepakat bahwa meriwayatkan hadits Maudhu’’ itu hukumnya haram bagi mereka yang sudah jelas mengetahui bahwa hadits itu palsu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW,

“Barang siapa yang menceritakan hadits dariku sedangkan ia mengetahui bahwa itu dusta, maka dia termasuk para pendusta.”
2.Bagi mereka yang meriwayatkan dengan tujuan memberi tahu kepada orang bahwa hadits ini adalah palsu (menerangkan kepada mereka sesudah meriwayatkan atau membacanya) maka tidak ada dosa atasnya.
3.Mereka tidak tahu sama sekali kemudian meriwayatkan atau mereka mengamalkan makna hadits tersebut karena tidak tahu, maka tidak ada dosa atasnya.

Kesalahan Sebagian Ahli Tafsir Dalam Menyebutkan Hadits Maudhu’
Sebagian ulama tafsir melakukan kesalahan dengan menyebutkan Hadits Maudhu’’dalam tafsir mereka tanpa menjelaskan kepalsuannya, khususnya riwayat tentang fadhilah Al-Qur’an surat per surat diantara mereka adalah As-Isa’Labi, Al-Wahidi, Az-Zamakhsyari, dan Al-Badhawi.

D.     Kriteria Kepalsuan Hadits

Tanda-tanda kepalsuan hadits, terbagi menjadi dua yaitu, tanda-tanda yang diperoleh kepada sanad, dan tanda-tan yang diperoleh pada matan.
1.Tanda-tanda pada sanad
a.Perawi itu terkenal berdusta dan haditsnya tidak diriwayatkan oleh orang yang dapat dipercaya.
b.Pengakuan perawi itu sendiri.
c.Menurut sejarah mereka tak mungkin bertemu.
d.Keadaan perawi-perawi sendiri serta dorongan membuat hadits.
2.Tanda-tanda pada matan
a.Buruk susunannya dan lazimnya.
b.Rusak maknanya.
c.Menyalahi keterangan Al-qur’an yang terang, keterangan Sunnah Muatawattir dan kaidah-kaidah kulliyah.
d.Menyalahi hakekat sejarah yang telah dikenal dimasa Nabi SAW.
e.Sesuai hadits dengan mazhab yang dianut oleh Rawi, sedang rawi itu pula orang yang sangat fanatik kepada mazhabnya.
f.Menerangkan urusan yang seharusnya, kalau ada dinukilkan oleh orang ramai.
g.Menerangkan pahala yang sangat besar terhadap perbuatan yang kecil.

E.Penanggulangan Hadits Maudhu’
Dalam upaya menanggulangi Hadits-Hadits Maudhu’’ agar tidak berkembang dan semakin meluas, serta agar terpeliharanya hadits Nabi SAW dari yang tercampur dengan yang bukan hadits, para ulama hadits telah merumuskan langkah-langkah yang dapat mengantisipasi problem Hadits Maudhu’’ ini. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:
1.Memelihara sanad hadits.
2.Meningkatkan kesungguhan dalam meneliti hadits.
3.Menelidiki dan membasmi kebohongan yang dilakukan terhadap hadits.
4.Menerangkan keadaan para perawi.
5.Membuat kaidah-kaidah untuk menentukan Hadits Maudhu’’

PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1.Hadits Maudhu’ sebenarnya tidak layak disebut sebagai hadits, karena ia sudah jelas bukan sebuah hadits yang bisa disandarkan pada Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwasanya meriwayatkan Hadits-Hadits Maudhu’ itu hukumnya haram bagi mereka yang sudah jelas mengetahui bahwa hadits itu palsu, kecuali disertai dengan penjelasan dan kemaudhu’annya.
2.Hadits Maudhu’ baru muncul dan berkembang ketika Ali menjabat sebagai khalifah.
3.Pemalsuan hadits ternyata tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Islam, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non Islam.
4.Hadits Maudhu’ dapat diketahui melalui beberapa kriteria, baik dari tanda-tanda yang diperoleh pada sanad maupun dari tanda-tanda yang diperoleh pada matan.
5.Untuk menyelamatkan hadits Nabi Muhammad SAW ditengah-tengah gencarnya pembuatan Hadits Maudhu’, para ulama hadits telah merumuskan langkah-langkah yang dapat mengantisipasi masalah Hadits Maudhu’ ini.
ingga lahirlah ilmu tersebut.


J.PENGERTIAN DAN SEJARAH
MUNCULNYA HADITS-HADIST MAUDHU (



الحديث secara bahasa berarti الجديد, yaitu sesuatu yang baru, selain itu hadits pun berarti الخبر , berita. Yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seseorang kepada orang yang lain. Sedangkan موضع merupakan derivasi dari kata وضع – يضع – وضعا yang secara bahasa berarti menyimpan, mengada-ngada atau membuat-buat.

Adapun pengertian hadits maudhu’ (hadits palsu) secara istilah ialah:

ما نسب الى رسول الله صلى الله عليه و السلام إختلافا و كذبا ممّا لم يقله أويقره

Apa-apa yang disandarkan kepada Rasulullah secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan dan memperbuatnya.

Dr. Mahmud Thahan didalam kitabnya mengatakan,

اذا كان سبب الطعن فى الروى هو الكذ ب على رسول الله فحد يثه يسمى الموضع

Apabila sebab keadaan cacatnya rowi dia berdusta terhadap Rasulullah, maka haditsnya dinamakan maudhu’. ( Taysiru Musthalahu Alhadits:89)

Dan pengertiannya secara istilah beliau mengatakan

هو الكذب المختلق المنصوع المنسوب الى رسول الله صلى الله عليه والسلام

Hadits yang dibuat oleh seorang pendusta yang dibangsakan kepada Rasulullah
( Taysiru Musthalahu Alhadits:89)

A. Sejarah Perkembangan Hadits Palsu
Polemik politik Dari sebab pembunuhan Utsman radhiyallohu anhu kemudian fitnah Ali radhiyallohu anhu dan Mu’awiyah radhiyallohu anhu terpecahlah kaum muslimin mennjadi tiga , kubu Ali radhiyallohu anhu, Kubu Mu’awiyah radhiyallohu anhu, dan yang keluar yang memberontak pada Ali radhiyallohu anhu.Pada zaman mereka tidak terjadi pemalsuan hadits, setelah itulah muncul orang-orang yang ta’asub (fanatik) pada golongan tertentu, dan yang pertama kali mempeloporinya adalah Syiah, mereka membuat hadits palsu tentang keutamaan Ali radhiyallohu anhu, kemudian kubu Mu’awiyah radhiyallohu anhu berbuat demikian pula, memalsukan hadits mengenai Abu Bakar, Umar,Utsman, dan Mu’awiyah radhiyallohu anhum

Para ahli berbeda pendapat dalam menentukan kapan mulai terjadinya pemalsuan hadits. Diantara pendapat-pendapat yang ada sebagai berikut:
a. Menurut Ahmad Amin, bahwa hadits palsu terjadi sejak jaman Rasulullah Saw, beliau beralasan dengan sebuah hadits yang matannya من كذب عليّ متعمّدا فليتبوّأ مقعده من النّار . Menurutnya hadits tersebut menggambarkan kemungkinan pada zaman Rasulullah Saw. telah terjadi pemalsuan hadits. Akan tetapi pendapat ini kurang disetujui oleh H.Mudatsir didalam bukunya Ilmu Hadits, dengan alasan Ahmad Amin tidak mempunyai alasan secara histories, selain itu pemalsuan hadits dijaman Rasulullah Saw. tidak tercantum didalam kitab-kitab standar yang berkaitan dengan Asbabul Wurud. Dan data menunjukan sepanjang masa Rasulullah Saw. tidak pernah ada seorang sahabatpun yang sengaja berbuat dusta kepadanya.
b. Menurut jumhur muhadditsin, bahwa hadits telah mengalami pemalsuan sejak jaman khalifah Ali bin Abi Thalib. Sebelum terjadi pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sufyan, hadits masih bisa dikatakan selamat dari pemalsuan.
c. Munculnya pemalsuan hadits bermula dari terjadinya fitnah pembunuhan Utsman, fitnah Ali dan Muawiyah radhiyallohu anhum dan munculnya firqah setelah itu. Berkisar tahun 35 H – 60 H inilah kesimpulan dari perkataan para peneliti hadits di zaman ini diantara nya Dr Mustafa Siba’i, Dr Umar Fallatah ( salah seorang pengajar di Masjid Nabawi), Dr Abdul Shomad ( Dosen Al-Hadits di Universitas Islam Madinah